Wanita identik dengan gosip, meski berita tersebut belum terbukti kebenarannya kaum wanita sudah heboh. Ya, namanya juga gosip. Makin digosok makin sip! Hehehe
Berusaha untuk menahan keinginan tidak bergosip memang butuh perjuangan. Apalagi kalo sudah kumpul dengan teman-teman satu geng.
Namun tak ada usaha yang tak membuahkan hasil. Kalo kata grup musik Kotak 'pelan-pelan saja' tapi kontinyu. Insya Allah berhasil. Bukankah Allah bersama orang-orang yang mau berubah?
Mari berproses menuju ke arah lebih baik!
Semoga istiqomah. Aamiin
#nasihatutkdirisendiri
Jejen, 21.03.16
22.34
My Notes
Senin, 21 Maret 2016
Minggu, 06 Maret 2016
INGATLAH DIA, MAKA IA AKAN MENGINGATMU
Penyakit manusia adalah kala kesedihan melanda, ujian menghadang dan galau menyelimuti maka disitulah ia ingat pada Sang Penciptanya.
Namun, saat bahagia datang, ceria mengisi hati dan kasmaran melanda jiwa. Tak sedikit pun ia mengingatNya. Terbuai oleh kesenangan, lupa segala doa dan air mata yang dikeluarkan kala keadaan terbalik.
Tapi, apakah Ia juga melakukan yang sama denganmu?
Jawabannya, TIDAK!
Ia tetap menjaga, menyayangi dan mengasihimu. Bahkan disaat seperti itu Ia akan sangat merindukanmu.
Merindukan lantunan doa, tangisan dan sujudmu di sepertiga malam yang sebelumnya selalu kau lakukan kala kesulitan mengisi hari.
Namun, Allah pun Maha Adil.
Ia akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk hambaNya yang benar-benar bertakwa.
So, kapan pun, dalam keadaan apapun dan dimana pun Ingatlah Allah. Sebab Dia lah Yang Maha Rahman dan Rahim.
Penyakit manusia adalah kala kesedihan melanda, ujian menghadang dan galau menyelimuti maka disitulah ia ingat pada Sang Penciptanya.
Namun, saat bahagia datang, ceria mengisi hati dan kasmaran melanda jiwa. Tak sedikit pun ia mengingatNya. Terbuai oleh kesenangan, lupa segala doa dan air mata yang dikeluarkan kala keadaan terbalik.
Tapi, apakah Ia juga melakukan yang sama denganmu?
Jawabannya, TIDAK!
Ia tetap menjaga, menyayangi dan mengasihimu. Bahkan disaat seperti itu Ia akan sangat merindukanmu.
Merindukan lantunan doa, tangisan dan sujudmu di sepertiga malam yang sebelumnya selalu kau lakukan kala kesulitan mengisi hari.
Namun, Allah pun Maha Adil.
Ia akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk hambaNya yang benar-benar bertakwa.
So, kapan pun, dalam keadaan apapun dan dimana pun Ingatlah Allah. Sebab Dia lah Yang Maha Rahman dan Rahim.
Sabtu, 27 Februari 2016
MALL
Buat sebagian besar dari kita mall merupakan suatu tempat yang sudah tidak lagi bisa dipisahkan dari kehidupan.
Ya, gimana bisa dipisahkan, mall adalah tempat dimana kita bisa menemukan apa yang dibutuhkan. Dari fashion, pangan, buku, mainan atau hanya sekedar duduk-duduk sambil ngopi cantik bareng temen ngobrol sana-sini bahas gosip artis, gosip kantor atau curcol semua bisa ditemukan disini.
Mall dengan bentuk bangunan permanen megah, minimal berlantai dua, tapi jarang banget sih. Kalo mall cuma dua lantai, nggak masuk kategori mall kali ya...
Jakarta menurut info merupakan salah satu kota dengan jumlah mall lumayan banyak. Sebagai warga Jakarta agak miris menerima hal tersebut karena otomatis makin sedikit saja lahan terbuka untuk penduduknya yang konon kabarnya memiliki tingkat stress tinggi.
Ada sebagian orang berpendapat salah satu cara menghilangkan stress dengan jalan-jalan ke mall. Maaf jika saya tidak begitu setuju dengan hal ini, karena menurut saya dengan mengunjungi ke mall akan menyisakan stress setelahnya. Sebab, terutama kaum hawa. Niat awalnya cuma mau window shopping sambil singgah sebentar di kedai kopi atau es krim akhirnya tergoda beli ini itu, belum lagi kalau program diskon bertebaran. Tanpa sadar uang tunai pun ludes atau menambah tagihan bulan depan karena seringnya menggunakan kartu kredit. Nadzubillah...
Nah, untuk menghindari hal diatas, ada saran atau mungkin plesetan yang menyarankan saat masuk mall baca doa ke toilet, katanya sih supaya nggak tergoda dengan diskon atau barang serta pernak-pernik yang tertata cantik di etalase toko. Benar atau nggak silahkan dicoba. Saya sendiri pernah menerapkan tapi lebih sering nggak sih, karena lupa. Hehehe.
Yah, apapun pendapat teman-teman tentang mall kembali ke masing-masing. Kehadiran mall di fase kehidupan ini bisa jadi merupakan suatu peradaban baru. Dalam sebuah peradaban akan menimbulkan dampak positif maupun negatif.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menanggapi peradaban ini secara positif, sehingga kehadiran mall dapat melengkapi hidup bukan sebaliknya. Mari bijak menanggapi sesuatu yang baru, apapun itu.
Jejen, 28.2.16
Buat sebagian besar dari kita mall merupakan suatu tempat yang sudah tidak lagi bisa dipisahkan dari kehidupan.
Ya, gimana bisa dipisahkan, mall adalah tempat dimana kita bisa menemukan apa yang dibutuhkan. Dari fashion, pangan, buku, mainan atau hanya sekedar duduk-duduk sambil ngopi cantik bareng temen ngobrol sana-sini bahas gosip artis, gosip kantor atau curcol semua bisa ditemukan disini.
Mall dengan bentuk bangunan permanen megah, minimal berlantai dua, tapi jarang banget sih. Kalo mall cuma dua lantai, nggak masuk kategori mall kali ya...
Jakarta menurut info merupakan salah satu kota dengan jumlah mall lumayan banyak. Sebagai warga Jakarta agak miris menerima hal tersebut karena otomatis makin sedikit saja lahan terbuka untuk penduduknya yang konon kabarnya memiliki tingkat stress tinggi.
Ada sebagian orang berpendapat salah satu cara menghilangkan stress dengan jalan-jalan ke mall. Maaf jika saya tidak begitu setuju dengan hal ini, karena menurut saya dengan mengunjungi ke mall akan menyisakan stress setelahnya. Sebab, terutama kaum hawa. Niat awalnya cuma mau window shopping sambil singgah sebentar di kedai kopi atau es krim akhirnya tergoda beli ini itu, belum lagi kalau program diskon bertebaran. Tanpa sadar uang tunai pun ludes atau menambah tagihan bulan depan karena seringnya menggunakan kartu kredit. Nadzubillah...
Nah, untuk menghindari hal diatas, ada saran atau mungkin plesetan yang menyarankan saat masuk mall baca doa ke toilet, katanya sih supaya nggak tergoda dengan diskon atau barang serta pernak-pernik yang tertata cantik di etalase toko. Benar atau nggak silahkan dicoba. Saya sendiri pernah menerapkan tapi lebih sering nggak sih, karena lupa. Hehehe.
Yah, apapun pendapat teman-teman tentang mall kembali ke masing-masing. Kehadiran mall di fase kehidupan ini bisa jadi merupakan suatu peradaban baru. Dalam sebuah peradaban akan menimbulkan dampak positif maupun negatif.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menanggapi peradaban ini secara positif, sehingga kehadiran mall dapat melengkapi hidup bukan sebaliknya. Mari bijak menanggapi sesuatu yang baru, apapun itu.
Jejen, 28.2.16
Minggu, 21 Februari 2016
MENGUBUR MASA LALU
Perempuan itu berdiri tegak dengan setelan blazer dan celana hitam, terlihat profesional. Kaki kecilnya ditopang high heel berukuran lima centi terlihat ramping.
Jika dilihat dari tubuh kecil, tinggi mendekati seratus enam puluh senti meter, dapat dipastikan gadis tersebut memiliki berat tidak lebih dari empat puluh kilogram.
Mata tanpa riasan itu memandang lurus ke satu arah. Terlihat tegas namun tidak mengurangi segi kelembutan. Bibirnya tidak tipis tidak pula terlalu tebal tampak tersenyum simpul diulasi lipstik berwarna nude. Di pipinya tak terlihat pewarna. Hanya pulasan bedak berwarna cerah menyamarkan wajah.
Perlahan kudekati ia. Dia diam. Satu, dua menit kemudian aku mulai menyentuhnya, memandangnya, namun gadis itu masih tak bergeming. Menit berikutnya kupandangi lekat wajah manisnya, dan kami pun saling berhadapan. Matanya sedikit berubah. Tanganku mulai iseng, kutarik rambut yang berikat kuda, kepalanya sedikit bergerak. Namun ekspresi wajah si gadis tak berubah.
"Hhh," kuhela napas.
Gunting yang terletak lima senti di depanku seakan memanggil untuk segera kuraih. Perlahan ujung gunting ku tancapakan tepat di perut sebelah kiri si gadis. Selanjutnya ku ulangi hal yang sama ke perut sebelahnya. Terus ku lanjutkan aktifitas itu. Satu demi satu bagian tubuh si gadis kini telah tercabik.
Beralih ke bagian wajahnya, hidung, bibir, pipi dahi serta lehernya telah terpisah satu sama lain. Kedua telinganya pun telah ku pisahkan menjadi kepingan-kepingan hingga terserak.
Tidak butuh waktu banyak untuk meluluh lantakkan tubuh si gadis hingga menjadi potongan-potongan puzle.
Aku tersenyum setelah menuntaskan semua. Lega,,,
Selamat tinggal gambar-gambar tak berkerudung dan tertutup.
15.02.16
Perempuan itu berdiri tegak dengan setelan blazer dan celana hitam, terlihat profesional. Kaki kecilnya ditopang high heel berukuran lima centi terlihat ramping.
Jika dilihat dari tubuh kecil, tinggi mendekati seratus enam puluh senti meter, dapat dipastikan gadis tersebut memiliki berat tidak lebih dari empat puluh kilogram.
Mata tanpa riasan itu memandang lurus ke satu arah. Terlihat tegas namun tidak mengurangi segi kelembutan. Bibirnya tidak tipis tidak pula terlalu tebal tampak tersenyum simpul diulasi lipstik berwarna nude. Di pipinya tak terlihat pewarna. Hanya pulasan bedak berwarna cerah menyamarkan wajah.
Perlahan kudekati ia. Dia diam. Satu, dua menit kemudian aku mulai menyentuhnya, memandangnya, namun gadis itu masih tak bergeming. Menit berikutnya kupandangi lekat wajah manisnya, dan kami pun saling berhadapan. Matanya sedikit berubah. Tanganku mulai iseng, kutarik rambut yang berikat kuda, kepalanya sedikit bergerak. Namun ekspresi wajah si gadis tak berubah.
"Hhh," kuhela napas.
Gunting yang terletak lima senti di depanku seakan memanggil untuk segera kuraih. Perlahan ujung gunting ku tancapakan tepat di perut sebelah kiri si gadis. Selanjutnya ku ulangi hal yang sama ke perut sebelahnya. Terus ku lanjutkan aktifitas itu. Satu demi satu bagian tubuh si gadis kini telah tercabik.
Beralih ke bagian wajahnya, hidung, bibir, pipi dahi serta lehernya telah terpisah satu sama lain. Kedua telinganya pun telah ku pisahkan menjadi kepingan-kepingan hingga terserak.
Tidak butuh waktu banyak untuk meluluh lantakkan tubuh si gadis hingga menjadi potongan-potongan puzle.
Aku tersenyum setelah menuntaskan semua. Lega,,,
Selamat tinggal gambar-gambar tak berkerudung dan tertutup.
15.02.16
Sabtu, 20 Februari 2016
ALPA SEORANG HAMBA
Malam mulai meninggi
Angin pun terasa menusuk tulang
Lembar demi lembar kardus tlah ku susun
Tubuh lelah tlah berbaring
Namun mata tak jua terpejam
Padahal tak satu pun kejora menyapa
Terhentak ku seketika
Kala diri menyadari kewajiban kelima belum tertunaikan
Langkah terseret menuju surau kecil sudut kampung
Ya Allah, maafkan hamba yang hampir terlupa akan kewajiban
Lelah yang menyelimuti tubuh
Membuat diri terlena
Ya Allah, terimalah shalat hambaMu yang lalai
Jejen, 15.02.16
Malam mulai meninggi
Angin pun terasa menusuk tulang
Lembar demi lembar kardus tlah ku susun
Tubuh lelah tlah berbaring
Namun mata tak jua terpejam
Padahal tak satu pun kejora menyapa
Terhentak ku seketika
Kala diri menyadari kewajiban kelima belum tertunaikan
Langkah terseret menuju surau kecil sudut kampung
Ya Allah, maafkan hamba yang hampir terlupa akan kewajiban
Lelah yang menyelimuti tubuh
Membuat diri terlena
Ya Allah, terimalah shalat hambaMu yang lalai
Jejen, 15.02.16
JANGAN KESERINGAN BACA BUKU!
Teman-teman pasti banyak yang punya hobi membaca. Gue pun begitu. Pesen gue, jangan kebanyakan baca buku nanti mempengaruhi daya khayal lho!
Contohnya gue.
Gue dicekokin buku (baca: buku cerita) sejak SD kelas satu. Buku cerita yang bikin khayalan atau bahasa kerennya imajinasi gue terbang adalah Lupus karya Om Hilman Hariwijaya. Ini gegara abang gue, karena saat itu dia punya koleksi buku Lupus.
Karena seringnya baca nih buku, gue jadi terbawa ke dalam tokoh Lulu, adiknya Lupus. Kalau teman-teman pernah baca buku ini, pasti tauk.
Dalam buku itu memang menceritakan kehidupan Lupus, remaja kreatif tapi punya hobi iseng. Hidup dengan seorang adik dan maminya, single parent.
Entah kebetulan atau takdir saat itupun gue dan abang memiliki kehidupan yang sama. Makanya jadi deh imaginasi absurd muncul tanpa diundang, membayangkan kisah gue dan abang layaknya Lupus dan Lulu.
Petualangan imajinasi gue nggak berhenti sampai di situ. Pada saat baca buku Dee Lestari, Perahu Kertas. Dimana Kugi tokoh dalam buku suka bikin radar dua jari di kepalanya, gue juga ikut-ikutan. Trus, di buku itu juga ada kebiasaan Kugi yang menanggap dirinya jadi agen neptunus, kembali gue pun jadi ngerasain hal serupa. Kebetulan lagi saat itu ada temen mengalami sedikit masalah, dan gue jadi tim investigasinya.
Dalam buku kumcer Laki-Laki Yang Salah, karya almh. Lang Fang. Di satu cerpennya menceritakan tentang sungai dan hutan bambu di Jepang. Imajinasi pun melayang ke kesejukan hutan bambu serta dinginnya air sungai.
Selanjutnya tokoh Fahri 'Ayat-Ayat Cinta 2' Kang Abik, berhasil membuat gue terpesona malah mungkin jatuh hati dan membawa diri mengunjungi negeri Swedia dan Inggris serta berasa hadir di acara debatnya.
Kalo di buku trilogi Negeri 5 Menara nya Bang A. Fuadi, gue jadi ngerasa jadi bagian dari pesantren Gontor dan lagi-lagi membayangkan ada di setiap setting lokasinya. Saat tokoh Alif jatuh cinta pun, hmm jadi mupeng lagi. Hahaha
Lain lagi dengan buku Pulang nya Bang Tere Liye, penulis hebat ini membuat gue tambah pengen tauk tentang dunia mafia atau disebut Shadow Economy.
Nah, di buku LSIK Bunda Asma Nadia, gue ngarep banget jadi tokoh Rania yang bisa traveling, jadi penulis dan pada akhirnya dipertemukan sama JDA.
Begitu hebatnya sebuah cerita yang terangkum dalam sebuah benda bernama buku. Hingga mampu membawa si pembacanya larut. Apalagi gue yang suka berimajinasi absurd.
Kalo kata Bunda Asma Nadia, menciptakan tokoh atau karakter dalam sebuah cerita memang harus memiliki jiwa, jika perlu kita sebagai penulisnya masuk ke dalam karakter tersebut.
Penulis-penulis hebat di atas adalah contoh bahwa karakter yang mereka ciptakan memiliki jiwa, sehingga kita para pembacanya ikut masuk ke dalam dunia tersebut. Mengenai settingnya pun merupakan penggambaran sempurna ketika merangkai kata demi kata.
Masih banyak penulis hebat lainnya yang tidak bisa gue sebutkan satu per satu, kepanjangan. Di KBM juga banyak yang sudah hebat-hebat.
Nah, itulah sekelumit imajinasi gue karena buku. Bagaimana dengan teman-teman?
Teman-teman pasti banyak yang punya hobi membaca. Gue pun begitu. Pesen gue, jangan kebanyakan baca buku nanti mempengaruhi daya khayal lho!
Contohnya gue.
Gue dicekokin buku (baca: buku cerita) sejak SD kelas satu. Buku cerita yang bikin khayalan atau bahasa kerennya imajinasi gue terbang adalah Lupus karya Om Hilman Hariwijaya. Ini gegara abang gue, karena saat itu dia punya koleksi buku Lupus.
Karena seringnya baca nih buku, gue jadi terbawa ke dalam tokoh Lulu, adiknya Lupus. Kalau teman-teman pernah baca buku ini, pasti tauk.
Dalam buku itu memang menceritakan kehidupan Lupus, remaja kreatif tapi punya hobi iseng. Hidup dengan seorang adik dan maminya, single parent.
Entah kebetulan atau takdir saat itupun gue dan abang memiliki kehidupan yang sama. Makanya jadi deh imaginasi absurd muncul tanpa diundang, membayangkan kisah gue dan abang layaknya Lupus dan Lulu.
Petualangan imajinasi gue nggak berhenti sampai di situ. Pada saat baca buku Dee Lestari, Perahu Kertas. Dimana Kugi tokoh dalam buku suka bikin radar dua jari di kepalanya, gue juga ikut-ikutan. Trus, di buku itu juga ada kebiasaan Kugi yang menanggap dirinya jadi agen neptunus, kembali gue pun jadi ngerasain hal serupa. Kebetulan lagi saat itu ada temen mengalami sedikit masalah, dan gue jadi tim investigasinya.
Dalam buku kumcer Laki-Laki Yang Salah, karya almh. Lang Fang. Di satu cerpennya menceritakan tentang sungai dan hutan bambu di Jepang. Imajinasi pun melayang ke kesejukan hutan bambu serta dinginnya air sungai.
Selanjutnya tokoh Fahri 'Ayat-Ayat Cinta 2' Kang Abik, berhasil membuat gue terpesona malah mungkin jatuh hati dan membawa diri mengunjungi negeri Swedia dan Inggris serta berasa hadir di acara debatnya.
Kalo di buku trilogi Negeri 5 Menara nya Bang A. Fuadi, gue jadi ngerasa jadi bagian dari pesantren Gontor dan lagi-lagi membayangkan ada di setiap setting lokasinya. Saat tokoh Alif jatuh cinta pun, hmm jadi mupeng lagi. Hahaha
Lain lagi dengan buku Pulang nya Bang Tere Liye, penulis hebat ini membuat gue tambah pengen tauk tentang dunia mafia atau disebut Shadow Economy.
Nah, di buku LSIK Bunda Asma Nadia, gue ngarep banget jadi tokoh Rania yang bisa traveling, jadi penulis dan pada akhirnya dipertemukan sama JDA.
Begitu hebatnya sebuah cerita yang terangkum dalam sebuah benda bernama buku. Hingga mampu membawa si pembacanya larut. Apalagi gue yang suka berimajinasi absurd.
Kalo kata Bunda Asma Nadia, menciptakan tokoh atau karakter dalam sebuah cerita memang harus memiliki jiwa, jika perlu kita sebagai penulisnya masuk ke dalam karakter tersebut.
Penulis-penulis hebat di atas adalah contoh bahwa karakter yang mereka ciptakan memiliki jiwa, sehingga kita para pembacanya ikut masuk ke dalam dunia tersebut. Mengenai settingnya pun merupakan penggambaran sempurna ketika merangkai kata demi kata.
Masih banyak penulis hebat lainnya yang tidak bisa gue sebutkan satu per satu, kepanjangan. Di KBM juga banyak yang sudah hebat-hebat.
Nah, itulah sekelumit imajinasi gue karena buku. Bagaimana dengan teman-teman?
Kamis, 19 November 2015
LELAKI YANG SALAH
Mengenalmu bukan kesengajaan. Melabuhkan cinta padamu, di luar nalarku.
Hmmm, aku mengecek hape yang lebih dari 2 jam tak tersentuh sama sekali. Ada beberapa miscall, sederet sms, dan pesan singkat sosmed lainnya. Satu persatu kutelusuri semua notifikasi. Saat melihat sms ternyata terdapat pesan singkat dari nomer yang sama juga miscall. Nomer tidak dikenal.
Baru lima menit kuletakkan handphone di meja kerja. Tiba-tiba lantunan Your Make Me Smile milik Dave Koz memaksa tangan ini untuk kembali meraih benda canggih itu. Tertera sederetan nomer tanpa nama. Sambil memperhatikan layar monitor aku mengingat-ingat nomernya. Siapa tauk nomer itu memang pernah tersimpan di hape sebelumnya, maklum dari jaman blackberry sampai android terhitung tiga kali aku gonta-ganti hape.
"Ta, angkat sih hapenya. Berisik tauk!"
Suara Nara dari kubikal sebelah.
"Biarin aja ntar juga brenti sendiri."
Nara malah menyambangi kubikelku meraih hape yang masih berbunyi lalu mematikannya.
Namun usaha Nara tak berumur panjang karena selang satu menit hapeku kembali berbunyi.
Nara melotot, aku mengangkat bahu.
Kejadian itu terus berlangsung hingga sore hari. Silent, adalah pilihan tepat untuk saat ini.
Gerimis membungkus malam kala perjalanan menuju rumah. Mataku sudah terpejam mungkin seperempat jam lalu. Kini terpaksa kubuka mata mencari hape dalam tas.
Kulirik jam tangan, jam delapan.
"Tumben jam segini nyokap dah telepon." Gumamku.
Masih dengan mata yang belum sempurna terbuka, kusentuh layar untuk menerima telepon.
"Ya Ma, Assalammu'alaikum."
"Waalaikusalam, alhamdulillah akhirnya diangkat juga." Suara dari seberang sana.
Aku terkejut mendengar suara lelaki. Kupandangi nomer yang tertera di layar handphone. Shit! Salah Angkat.
"Maaf ini siapa?"
"Hi, aku Afi. Boleh kenalan?"
Afi? Aku mengulang namanya tanpa suara.
"Sebelumnya apa kita pernah kenal?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Sekarang."
Kutepuk keningku. God! Sesuatu yang nggak penting.
"Maaf, mungkin anda salah orang. Saya akan tutup telponnya, te,"
"Eit, tunggu dulu. Aku mau ngobrol."
"Kalo mau ngobrol sama temen gue aja ya." Aku mulai ber-gue karena sebel sambil memindahtangankan hape ke Nara yang berada di sampingku. Mimiknya menandakan tanya. Aku sama sekali tak menggubris dan kembali melanjutkan tidur yang tertunda.
Pagi membuka hari.
Seperti biasa aku menggunakan ojek online untuk menuju tempat aktifitas. Sebelum kutekan aplikasi tersebut, terlebih dulu kubuka pesan-pesan yang masuk. Salah satunya ucapan selamat pagi dengan nama pengirim Raffi. Aku mengernyitkan kening mencoba mengingat nama itu. Karena waktu terus berjalan memaksa untuk segera mencari ojek online.
Sampai di kantor kubikel sebelahku kosong padahal jam delapan tinggal 10 menit lagi.
"Nara cuti dadakan karena adiknya yang kuliah di Lampung sakit." Ujar Tania seakan mengerti apa yang kupikirkan.
"Oh, kok dia nggak ngabarin gue ya?" Lebih bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin nggak sempet namanya juga mendadak." Masih suara Tania.
Jam 12. Saatnya makan siang. Agak kehilangan sebenarnya dengan ketidakhadiran Nara. Karena sejak menjadi bagian dari kantor ini dialah teman terdekatku bukan berarti aku nggak dekat dengan yang lain lho. Tadi Nara pun sudah menghubungi. Pada pesannya Nara mengatakan 'kalo ada telepon atau pesan dari Raffi balas ya, orangnya baik kok.' Saat itu aku mengokekan saja tanpa pikir panjang. Dan sekarang orang bernama Raffi menelepon. Jujur aku tidak tauk siapa dia tapi mengingat pesan Nara tanpa ragu, aku mengangkatnya.
Tidak lebih lima menit obrolan kami via telepon berakhir dengan janji akan menyambung komunikasi lagi malam nanti.
Raffi. Lelaki yang belum genap seminggu menjadi temanku. Tapi aku seperti sudah mengenalnya jauh dari itu. Ia seorang mahasiswa tingkat akhir yang tengah gundah pada keputusan setelah lulus nanti mau melanjutkan ke tingkat master di luar negeri seperti permintaan orang tuanya atau langsung bekerja. Aku memberikan beberapa pertimbangan tapi lebih mengarahkan untuk mengambil tawaran orang tuanya. Karena menurutku banyak orang yang bercita-cita melanjutkan pendidikan namun terbentur alasan ini itu akhirnya hanya tinggal mimpi. Kalo yang itu aku banget. Hehehe.
Baru seminggu kami berkenalan, Raffi mengajakku kopi darat. Aku mengiyakan sebab jika aku menolak maka ia akan nekat datang ke kantor.
Waktu yang ditentukan datang juga. Sabtu sore warung kopi modern sebuah mall bilangan Cibubur. Sepuluh menit sudah aku menunggu sambil membaca novel yang baru kubeli sebelum ke kafe. Kali ini sengaja aku datang lebih awal selain tadi mampir ke toko buku juga sempat nyalon sebentar. Meski secara usia Raffi lebih pantas menjadi adik tapi untuk kali pertama bertemu penampilan tetap nomer satu.
Drrrt. Tanda suara pesan masuk menanyakan keberadaanku, dari Raffi.
Jarum jam di tanganku menunjuk angka empat ketika sesosok lelaki berdiri tepat di depanku. Aku menatapnya menyisir senti demi senti wajah tampannya. Ia tersenyum, aku membalas.
"Hi, Prita. Kenalkan aku Raffi." Ia menawarkan jabat tangan. Aku membalas seraya menyebutkan nama.
"Lebih cantik aslinya dibanding foto." Pujinya.
"Gombal."
"Lelaki memang gemar menggombal, sedang perempuan sebaliknya senang digombalin. Hehe." Raffi tertawa memerkan sederet gigi putihnya.
"Tapi aku bukan tipe perempuan seperti itu. Maaf anda salah orang." Tukasku.
"Oya?"
"Ya." Jawabku mantap.
"Baiklah kalau memang begitu, aku akan langsung masuk ke pokok pertemuan kita hari ini." Kalimatnya mulai serius.
Seraya berpikir aku mengiyakan.
"Aku mau kamu jadi istriku."
Aku tertawa.
Ia memajukan badannya. "Aku butuh jawaban bukan tawa renyahmu, nona Prita."
"Tadi itu bukan pertanyaan tapi pernyataan sepihak."
"Oke, oke." Raffi menarik nafas. "Prita, maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku kelak?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Fi, ini bukan kali pertama kamu mengatakan hal itu dengan usia satu minggu perkenalan kita. Dan saat ini jawabanku pun belum berubah. Buatku ini terlalu cepat lagipula kita,"
"Beda usia?"
"Salah satunya itu."
"Banyak pasangan beda usia tapi mereka asik-asik aja."
"Dan aku bukan mereka. Fi, please ngerti aku. Untuk sekarang kita berteman saja." Pintaku.
Raffi menatapku. Sebagai anak bungsu dari keluarga berada kurasa dia tak terbiasa dengan penolakan.
"Baiklah. Tapi aku akan tetap meyakinkanmu sampai kau menerima rasa tulus ini." Ada nada kekecewaan disana.
"Gimana ketemuannya?" Sambut Nara Senin pagi.
"Biasa aja."
"Beneran?"
"Udah ah, gue nggak mau ngomongin Raffi. Gue mau protes sama lo yang ninggalin gue gitu aja seminggu. Tega lo."
"Prita, Prita kayak anak baru aja. Tauk sendiri total cuma tiga hari nemenin adik gue. Sisanya kerja." Jelas Nara dengan volume suara rendah.
"Kerja? Maksud lo, bantuin cabang Riau." Kalimat tanya yang kujawab sendiri.
"Ya begitulah. Tadinya Bang Anwar yang ditugasin ke Riau tapi karena gue lagi di Lampung diminta gantiin Bang Anwar supaya memperkecil biaya operasional."
"Ya, ya, ya."
"Terus kapan lagi lo ketemuan sama Raffi?" Nara mngganti topik pembicaraan.
Aku mengangkat bahu.
"Udah sih terima aja cintanya."
"Lo tauk darimana dia nembak gue?" Keterkejutanku.
"Raffi cerita sedikit sama gue."
"Hm tuh anak."
"Sebagai cowok apa coba kekurangan Raffi. Udah ganteng, baik, tanggung jawab, keturunan baik-baik, rajin ibadah,..."Nara menyebutkan semua kelebihan Raffi.
"Kekurangan Raffi adalah dia lebih muda lima tahun."
"Itu bukan halangan," Nara melanjutkan kalimatnya persis dengan yang dikatakan Raffi ketika kami bertemu.
"Ya udah kita lihat nanti aja ya. Sekarang waktunya kerja." Seruku.
Hari berganti hingga pertemananku dan Raffi sudah memasuki hitungan bulan. Sebagai lelaki sejati ia benar-benar memegang kata-katanya untuk tetap terus mendekatiku. Caranya yang tidak terburu-buru, sopan dan cerdas. Menghujani dengan perhatian, kasih sayang, memahami sikap keras serta kekanakanku. Meluluhkan pertahananku. Tepat di hari ke seratus kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Satu hari sebelum hari lahirku. Seminggu sebelum kebrangkatan Raffi ke USA untuk meraih gelar master.
Kali ini aku setuju dengan Raffi bahwa rentang usia lima tahun bukanlah penghalang untuk hubungan kami. Walau Raffi lebih muda ternyata ia mampu memahami semua kekuranganku. Biduk asmara kembali menyapa hari-hari setelah lebih tiga tahun memilih menutup diri sejak berpisah dengan Radya.
5 Nopember. Jadwal keberangkatan Raffi. Aku meminta cuti demi melepas kekasih ke negeri orang guna menuntut ilmu.
Bandara, tempat yang tidak pernah tidur. Lalu lalang penumpang, calon penumpang, para pengantar, troli menambah ramai suasana.
Aku bersama Raffi duduk di deretan kursi tunggu saling berpegangan tangan.
"Jangan nangis dong sayang." Raffi mengusap embun di sudut mataku.
"Kamu janji ya, jaga diri, kesehatan, nggak lupa shalat dan,"
"Nggak selingkuh." Raffi menyambar kalimatku yang belum sempurna. Wajahnya jenaka seakan memberi ketenangan. "Janji." Jarinya membentuk angka dua.
Kemudian dibawanya kepalaku ke dalam dadanya yang bidang. Semerbak harum Eternity Summer menyeruak dari balik tubuh Raffi.
"Deuh yang mau pisah pelukannya erat banget sih." Suara Tante Mila.
Reflek kami saling melepas pelukan.
"Mama."
Aku mencium tangan Tanye Mila yang sedang menggendong Wisnu, cucu pertamanya.
"Cuma dua tahun kok nak Prita. Sabar ya."
"Iya tante."
Diam.
"Oh, ini tokh perempuan yang bikin adikku nggak bisa tidur." Tiba-tiba suara lelaki terdengar dari sisi yang berlainan. Kami semua menengok ke arah suara.
"Mas," Raffi mencium tangan lelaki yang bediri di depannya.
Aku tergugu, mulutku terbuka namun tak ada kata terucap. Akalku masih merangkak untuk mempercayai bahwa lelaki yang kini berada tiga langkah di depanku adalah, Radya.
Oleh : Jennifer Anggraini Ria
19.11.15 jam 22.23
Mengenalmu bukan kesengajaan. Melabuhkan cinta padamu, di luar nalarku.
Hmmm, aku mengecek hape yang lebih dari 2 jam tak tersentuh sama sekali. Ada beberapa miscall, sederet sms, dan pesan singkat sosmed lainnya. Satu persatu kutelusuri semua notifikasi. Saat melihat sms ternyata terdapat pesan singkat dari nomer yang sama juga miscall. Nomer tidak dikenal.
Baru lima menit kuletakkan handphone di meja kerja. Tiba-tiba lantunan Your Make Me Smile milik Dave Koz memaksa tangan ini untuk kembali meraih benda canggih itu. Tertera sederetan nomer tanpa nama. Sambil memperhatikan layar monitor aku mengingat-ingat nomernya. Siapa tauk nomer itu memang pernah tersimpan di hape sebelumnya, maklum dari jaman blackberry sampai android terhitung tiga kali aku gonta-ganti hape.
"Ta, angkat sih hapenya. Berisik tauk!"
Suara Nara dari kubikal sebelah.
"Biarin aja ntar juga brenti sendiri."
Nara malah menyambangi kubikelku meraih hape yang masih berbunyi lalu mematikannya.
Namun usaha Nara tak berumur panjang karena selang satu menit hapeku kembali berbunyi.
Nara melotot, aku mengangkat bahu.
Kejadian itu terus berlangsung hingga sore hari. Silent, adalah pilihan tepat untuk saat ini.
Gerimis membungkus malam kala perjalanan menuju rumah. Mataku sudah terpejam mungkin seperempat jam lalu. Kini terpaksa kubuka mata mencari hape dalam tas.
Kulirik jam tangan, jam delapan.
"Tumben jam segini nyokap dah telepon." Gumamku.
Masih dengan mata yang belum sempurna terbuka, kusentuh layar untuk menerima telepon.
"Ya Ma, Assalammu'alaikum."
"Waalaikusalam, alhamdulillah akhirnya diangkat juga." Suara dari seberang sana.
Aku terkejut mendengar suara lelaki. Kupandangi nomer yang tertera di layar handphone. Shit! Salah Angkat.
"Maaf ini siapa?"
"Hi, aku Afi. Boleh kenalan?"
Afi? Aku mengulang namanya tanpa suara.
"Sebelumnya apa kita pernah kenal?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Sekarang."
Kutepuk keningku. God! Sesuatu yang nggak penting.
"Maaf, mungkin anda salah orang. Saya akan tutup telponnya, te,"
"Eit, tunggu dulu. Aku mau ngobrol."
"Kalo mau ngobrol sama temen gue aja ya." Aku mulai ber-gue karena sebel sambil memindahtangankan hape ke Nara yang berada di sampingku. Mimiknya menandakan tanya. Aku sama sekali tak menggubris dan kembali melanjutkan tidur yang tertunda.
Pagi membuka hari.
Seperti biasa aku menggunakan ojek online untuk menuju tempat aktifitas. Sebelum kutekan aplikasi tersebut, terlebih dulu kubuka pesan-pesan yang masuk. Salah satunya ucapan selamat pagi dengan nama pengirim Raffi. Aku mengernyitkan kening mencoba mengingat nama itu. Karena waktu terus berjalan memaksa untuk segera mencari ojek online.
Sampai di kantor kubikel sebelahku kosong padahal jam delapan tinggal 10 menit lagi.
"Nara cuti dadakan karena adiknya yang kuliah di Lampung sakit." Ujar Tania seakan mengerti apa yang kupikirkan.
"Oh, kok dia nggak ngabarin gue ya?" Lebih bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin nggak sempet namanya juga mendadak." Masih suara Tania.
Jam 12. Saatnya makan siang. Agak kehilangan sebenarnya dengan ketidakhadiran Nara. Karena sejak menjadi bagian dari kantor ini dialah teman terdekatku bukan berarti aku nggak dekat dengan yang lain lho. Tadi Nara pun sudah menghubungi. Pada pesannya Nara mengatakan 'kalo ada telepon atau pesan dari Raffi balas ya, orangnya baik kok.' Saat itu aku mengokekan saja tanpa pikir panjang. Dan sekarang orang bernama Raffi menelepon. Jujur aku tidak tauk siapa dia tapi mengingat pesan Nara tanpa ragu, aku mengangkatnya.
Tidak lebih lima menit obrolan kami via telepon berakhir dengan janji akan menyambung komunikasi lagi malam nanti.
Raffi. Lelaki yang belum genap seminggu menjadi temanku. Tapi aku seperti sudah mengenalnya jauh dari itu. Ia seorang mahasiswa tingkat akhir yang tengah gundah pada keputusan setelah lulus nanti mau melanjutkan ke tingkat master di luar negeri seperti permintaan orang tuanya atau langsung bekerja. Aku memberikan beberapa pertimbangan tapi lebih mengarahkan untuk mengambil tawaran orang tuanya. Karena menurutku banyak orang yang bercita-cita melanjutkan pendidikan namun terbentur alasan ini itu akhirnya hanya tinggal mimpi. Kalo yang itu aku banget. Hehehe.
Baru seminggu kami berkenalan, Raffi mengajakku kopi darat. Aku mengiyakan sebab jika aku menolak maka ia akan nekat datang ke kantor.
Waktu yang ditentukan datang juga. Sabtu sore warung kopi modern sebuah mall bilangan Cibubur. Sepuluh menit sudah aku menunggu sambil membaca novel yang baru kubeli sebelum ke kafe. Kali ini sengaja aku datang lebih awal selain tadi mampir ke toko buku juga sempat nyalon sebentar. Meski secara usia Raffi lebih pantas menjadi adik tapi untuk kali pertama bertemu penampilan tetap nomer satu.
Drrrt. Tanda suara pesan masuk menanyakan keberadaanku, dari Raffi.
Jarum jam di tanganku menunjuk angka empat ketika sesosok lelaki berdiri tepat di depanku. Aku menatapnya menyisir senti demi senti wajah tampannya. Ia tersenyum, aku membalas.
"Hi, Prita. Kenalkan aku Raffi." Ia menawarkan jabat tangan. Aku membalas seraya menyebutkan nama.
"Lebih cantik aslinya dibanding foto." Pujinya.
"Gombal."
"Lelaki memang gemar menggombal, sedang perempuan sebaliknya senang digombalin. Hehe." Raffi tertawa memerkan sederet gigi putihnya.
"Tapi aku bukan tipe perempuan seperti itu. Maaf anda salah orang." Tukasku.
"Oya?"
"Ya." Jawabku mantap.
"Baiklah kalau memang begitu, aku akan langsung masuk ke pokok pertemuan kita hari ini." Kalimatnya mulai serius.
Seraya berpikir aku mengiyakan.
"Aku mau kamu jadi istriku."
Aku tertawa.
Ia memajukan badannya. "Aku butuh jawaban bukan tawa renyahmu, nona Prita."
"Tadi itu bukan pertanyaan tapi pernyataan sepihak."
"Oke, oke." Raffi menarik nafas. "Prita, maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku kelak?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Fi, ini bukan kali pertama kamu mengatakan hal itu dengan usia satu minggu perkenalan kita. Dan saat ini jawabanku pun belum berubah. Buatku ini terlalu cepat lagipula kita,"
"Beda usia?"
"Salah satunya itu."
"Banyak pasangan beda usia tapi mereka asik-asik aja."
"Dan aku bukan mereka. Fi, please ngerti aku. Untuk sekarang kita berteman saja." Pintaku.
Raffi menatapku. Sebagai anak bungsu dari keluarga berada kurasa dia tak terbiasa dengan penolakan.
"Baiklah. Tapi aku akan tetap meyakinkanmu sampai kau menerima rasa tulus ini." Ada nada kekecewaan disana.
"Gimana ketemuannya?" Sambut Nara Senin pagi.
"Biasa aja."
"Beneran?"
"Udah ah, gue nggak mau ngomongin Raffi. Gue mau protes sama lo yang ninggalin gue gitu aja seminggu. Tega lo."
"Prita, Prita kayak anak baru aja. Tauk sendiri total cuma tiga hari nemenin adik gue. Sisanya kerja." Jelas Nara dengan volume suara rendah.
"Kerja? Maksud lo, bantuin cabang Riau." Kalimat tanya yang kujawab sendiri.
"Ya begitulah. Tadinya Bang Anwar yang ditugasin ke Riau tapi karena gue lagi di Lampung diminta gantiin Bang Anwar supaya memperkecil biaya operasional."
"Ya, ya, ya."
"Terus kapan lagi lo ketemuan sama Raffi?" Nara mngganti topik pembicaraan.
Aku mengangkat bahu.
"Udah sih terima aja cintanya."
"Lo tauk darimana dia nembak gue?" Keterkejutanku.
"Raffi cerita sedikit sama gue."
"Hm tuh anak."
"Sebagai cowok apa coba kekurangan Raffi. Udah ganteng, baik, tanggung jawab, keturunan baik-baik, rajin ibadah,..."Nara menyebutkan semua kelebihan Raffi.
"Kekurangan Raffi adalah dia lebih muda lima tahun."
"Itu bukan halangan," Nara melanjutkan kalimatnya persis dengan yang dikatakan Raffi ketika kami bertemu.
"Ya udah kita lihat nanti aja ya. Sekarang waktunya kerja." Seruku.
Hari berganti hingga pertemananku dan Raffi sudah memasuki hitungan bulan. Sebagai lelaki sejati ia benar-benar memegang kata-katanya untuk tetap terus mendekatiku. Caranya yang tidak terburu-buru, sopan dan cerdas. Menghujani dengan perhatian, kasih sayang, memahami sikap keras serta kekanakanku. Meluluhkan pertahananku. Tepat di hari ke seratus kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Satu hari sebelum hari lahirku. Seminggu sebelum kebrangkatan Raffi ke USA untuk meraih gelar master.
Kali ini aku setuju dengan Raffi bahwa rentang usia lima tahun bukanlah penghalang untuk hubungan kami. Walau Raffi lebih muda ternyata ia mampu memahami semua kekuranganku. Biduk asmara kembali menyapa hari-hari setelah lebih tiga tahun memilih menutup diri sejak berpisah dengan Radya.
5 Nopember. Jadwal keberangkatan Raffi. Aku meminta cuti demi melepas kekasih ke negeri orang guna menuntut ilmu.
Bandara, tempat yang tidak pernah tidur. Lalu lalang penumpang, calon penumpang, para pengantar, troli menambah ramai suasana.
Aku bersama Raffi duduk di deretan kursi tunggu saling berpegangan tangan.
"Jangan nangis dong sayang." Raffi mengusap embun di sudut mataku.
"Kamu janji ya, jaga diri, kesehatan, nggak lupa shalat dan,"
"Nggak selingkuh." Raffi menyambar kalimatku yang belum sempurna. Wajahnya jenaka seakan memberi ketenangan. "Janji." Jarinya membentuk angka dua.
Kemudian dibawanya kepalaku ke dalam dadanya yang bidang. Semerbak harum Eternity Summer menyeruak dari balik tubuh Raffi.
"Deuh yang mau pisah pelukannya erat banget sih." Suara Tante Mila.
Reflek kami saling melepas pelukan.
"Mama."
Aku mencium tangan Tanye Mila yang sedang menggendong Wisnu, cucu pertamanya.
"Cuma dua tahun kok nak Prita. Sabar ya."
"Iya tante."
Diam.
"Oh, ini tokh perempuan yang bikin adikku nggak bisa tidur." Tiba-tiba suara lelaki terdengar dari sisi yang berlainan. Kami semua menengok ke arah suara.
"Mas," Raffi mencium tangan lelaki yang bediri di depannya.
Aku tergugu, mulutku terbuka namun tak ada kata terucap. Akalku masih merangkak untuk mempercayai bahwa lelaki yang kini berada tiga langkah di depanku adalah, Radya.
Oleh : Jennifer Anggraini Ria
19.11.15 jam 22.23
Langganan:
Komentar (Atom)