Kamis, 19 November 2015

LELAKI YANG SALAH

Mengenalmu bukan kesengajaan. Melabuhkan cinta padamu, di luar nalarku.

Hmmm, aku mengecek hape yang lebih dari 2 jam tak tersentuh sama sekali. Ada beberapa miscall, sederet sms, dan pesan singkat sosmed lainnya. Satu persatu kutelusuri semua notifikasi. Saat melihat sms ternyata terdapat pesan singkat dari nomer yang sama juga miscall. Nomer tidak dikenal.

Baru lima menit kuletakkan handphone di meja kerja. Tiba-tiba lantunan Your Make Me Smile milik Dave Koz memaksa tangan ini untuk kembali meraih benda canggih itu. Tertera sederetan nomer tanpa nama. Sambil memperhatikan layar monitor aku mengingat-ingat nomernya. Siapa tauk nomer itu memang pernah tersimpan di hape sebelumnya, maklum dari jaman blackberry sampai android terhitung tiga kali aku gonta-ganti hape.
"Ta, angkat sih hapenya. Berisik tauk!"
Suara Nara dari kubikal sebelah.
"Biarin aja ntar juga brenti sendiri."
Nara malah menyambangi kubikelku meraih hape yang masih berbunyi lalu mematikannya.
Namun usaha Nara tak berumur panjang karena selang satu menit hapeku kembali berbunyi.
Nara melotot, aku mengangkat bahu.

Kejadian itu terus berlangsung hingga sore hari. Silent, adalah pilihan tepat untuk saat ini.

Gerimis membungkus malam kala perjalanan menuju rumah. Mataku sudah terpejam mungkin seperempat jam lalu. Kini terpaksa kubuka mata mencari hape dalam tas.
Kulirik jam tangan, jam delapan.
"Tumben jam segini nyokap dah telepon." Gumamku.
Masih dengan mata yang belum sempurna terbuka, kusentuh layar untuk menerima telepon.
"Ya Ma, Assalammu'alaikum."
"Waalaikusalam, alhamdulillah akhirnya diangkat juga." Suara dari seberang sana.
Aku terkejut mendengar suara lelaki. Kupandangi nomer yang tertera di layar handphone. Shit! Salah Angkat.
"Maaf ini siapa?"
"Hi, aku Afi. Boleh kenalan?"
Afi? Aku mengulang namanya tanpa suara.
"Sebelumnya apa kita pernah kenal?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Sekarang."
Kutepuk keningku. God! Sesuatu yang nggak penting.
"Maaf, mungkin anda salah orang. Saya akan tutup telponnya, te,"
"Eit, tunggu dulu. Aku mau ngobrol."
"Kalo mau ngobrol sama temen gue aja ya." Aku mulai ber-gue karena sebel sambil memindahtangankan hape ke Nara yang berada di sampingku. Mimiknya menandakan tanya. Aku sama sekali tak menggubris dan kembali melanjutkan tidur yang tertunda.

Pagi membuka hari.
Seperti biasa aku menggunakan ojek online untuk menuju tempat aktifitas. Sebelum kutekan aplikasi tersebut, terlebih dulu kubuka pesan-pesan yang masuk. Salah satunya ucapan selamat pagi dengan nama pengirim Raffi. Aku mengernyitkan kening mencoba mengingat nama itu. Karena waktu terus berjalan memaksa untuk segera mencari ojek online.

Sampai di kantor kubikel sebelahku kosong padahal jam delapan tinggal 10 menit lagi.
"Nara cuti dadakan karena adiknya yang kuliah di Lampung sakit." Ujar Tania seakan mengerti apa yang kupikirkan.
"Oh, kok dia nggak ngabarin gue ya?" Lebih bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin nggak sempet namanya juga mendadak." Masih suara Tania.

Jam 12. Saatnya makan siang. Agak kehilangan sebenarnya dengan ketidakhadiran Nara. Karena sejak menjadi bagian dari kantor ini dialah teman terdekatku bukan berarti aku nggak dekat dengan yang lain lho. Tadi Nara pun sudah menghubungi. Pada pesannya Nara mengatakan 'kalo ada telepon atau pesan dari Raffi balas ya, orangnya baik kok.' Saat itu aku mengokekan saja tanpa pikir panjang. Dan sekarang orang bernama Raffi menelepon. Jujur aku tidak tauk siapa dia tapi mengingat pesan Nara tanpa ragu, aku mengangkatnya.
Tidak lebih lima menit obrolan kami via telepon berakhir dengan janji  akan menyambung komunikasi lagi malam nanti.

Raffi. Lelaki yang belum genap seminggu menjadi temanku. Tapi aku seperti sudah mengenalnya jauh dari itu. Ia seorang mahasiswa tingkat akhir yang tengah gundah pada keputusan setelah lulus nanti mau melanjutkan ke tingkat master di luar negeri seperti permintaan orang tuanya atau langsung bekerja. Aku memberikan beberapa pertimbangan tapi lebih mengarahkan untuk mengambil tawaran orang tuanya. Karena menurutku banyak orang yang bercita-cita melanjutkan pendidikan namun terbentur alasan ini itu akhirnya hanya tinggal mimpi. Kalo yang itu aku banget. Hehehe.
Baru seminggu kami berkenalan, Raffi mengajakku kopi darat. Aku mengiyakan sebab jika aku menolak maka ia akan nekat datang ke kantor.

Waktu yang ditentukan datang juga. Sabtu sore warung kopi modern sebuah mall bilangan Cibubur. Sepuluh menit sudah aku menunggu sambil membaca novel yang baru kubeli sebelum ke kafe. Kali ini sengaja aku datang lebih awal selain tadi mampir ke toko buku juga sempat nyalon sebentar. Meski secara usia Raffi lebih pantas menjadi adik tapi untuk kali pertama bertemu penampilan tetap nomer satu.

Drrrt. Tanda suara pesan masuk menanyakan keberadaanku, dari Raffi.

Jarum jam di tanganku menunjuk angka empat ketika sesosok lelaki berdiri tepat di depanku. Aku menatapnya menyisir senti demi senti wajah tampannya. Ia tersenyum, aku membalas.
"Hi, Prita. Kenalkan aku Raffi." Ia menawarkan jabat tangan. Aku membalas seraya menyebutkan nama.
"Lebih cantik aslinya dibanding foto." Pujinya.
"Gombal."
"Lelaki memang gemar menggombal, sedang perempuan sebaliknya senang digombalin. Hehe." Raffi tertawa memerkan sederet gigi putihnya.
"Tapi aku bukan tipe perempuan seperti itu. Maaf anda salah orang." Tukasku.
"Oya?"
"Ya." Jawabku mantap.
"Baiklah kalau memang begitu, aku akan langsung masuk ke pokok pertemuan kita hari ini." Kalimatnya mulai serius.
Seraya berpikir aku mengiyakan.
"Aku mau kamu jadi istriku."
Aku tertawa.
Ia memajukan badannya. "Aku butuh jawaban bukan tawa renyahmu, nona Prita."
"Tadi itu bukan pertanyaan tapi pernyataan sepihak."
"Oke, oke." Raffi menarik nafas. "Prita, maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku kelak?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Fi, ini bukan kali pertama kamu mengatakan hal itu dengan usia satu minggu perkenalan kita. Dan saat ini jawabanku pun belum berubah. Buatku ini terlalu cepat lagipula kita,"
"Beda usia?"
"Salah satunya itu."
"Banyak pasangan beda usia tapi mereka asik-asik aja."
"Dan aku bukan mereka. Fi, please ngerti aku. Untuk sekarang kita berteman saja." Pintaku.
Raffi menatapku. Sebagai anak bungsu dari keluarga berada kurasa dia tak terbiasa dengan penolakan.
"Baiklah. Tapi aku akan tetap meyakinkanmu sampai kau menerima rasa  tulus ini." Ada nada kekecewaan disana.

"Gimana ketemuannya?" Sambut Nara Senin pagi.
"Biasa aja."
"Beneran?"
"Udah ah, gue nggak mau ngomongin Raffi. Gue mau protes sama lo yang ninggalin gue gitu aja seminggu. Tega lo."
"Prita, Prita kayak anak baru aja. Tauk sendiri total cuma tiga hari nemenin adik gue. Sisanya kerja." Jelas Nara dengan volume suara rendah.
"Kerja? Maksud lo, bantuin cabang Riau." Kalimat tanya yang kujawab sendiri.
"Ya begitulah. Tadinya Bang Anwar yang ditugasin ke Riau tapi karena gue lagi di Lampung diminta gantiin Bang Anwar supaya memperkecil biaya operasional."
"Ya, ya, ya."
"Terus kapan lagi lo ketemuan sama Raffi?" Nara mngganti topik pembicaraan.
Aku mengangkat bahu.
"Udah sih terima aja cintanya."
"Lo tauk darimana dia nembak gue?" Keterkejutanku.
"Raffi cerita sedikit sama gue."
"Hm tuh anak."
"Sebagai cowok apa coba kekurangan Raffi. Udah ganteng, baik, tanggung jawab, keturunan baik-baik, rajin ibadah,..."Nara menyebutkan semua kelebihan Raffi.
"Kekurangan Raffi adalah dia lebih muda lima tahun."
"Itu bukan halangan," Nara melanjutkan kalimatnya persis dengan yang dikatakan Raffi ketika kami bertemu.
"Ya udah kita lihat nanti aja ya. Sekarang waktunya kerja." Seruku.

Hari berganti hingga pertemananku dan Raffi sudah memasuki hitungan bulan. Sebagai lelaki sejati ia benar-benar memegang kata-katanya untuk tetap terus mendekatiku. Caranya yang tidak terburu-buru,  sopan dan cerdas. Menghujani dengan perhatian, kasih sayang, memahami sikap keras serta kekanakanku. Meluluhkan pertahananku. Tepat di hari ke seratus kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Satu hari sebelum hari lahirku. Seminggu sebelum kebrangkatan Raffi ke USA untuk meraih gelar master.

Kali ini aku setuju dengan Raffi bahwa rentang usia lima tahun bukanlah penghalang untuk hubungan kami. Walau Raffi lebih muda  ternyata ia mampu memahami semua kekuranganku. Biduk asmara kembali menyapa hari-hari setelah lebih tiga tahun memilih menutup diri sejak berpisah dengan Radya.

5 Nopember. Jadwal keberangkatan Raffi. Aku meminta cuti demi melepas kekasih ke negeri orang guna menuntut ilmu.
Bandara, tempat yang tidak pernah tidur. Lalu lalang penumpang, calon penumpang, para pengantar, troli menambah ramai suasana.
Aku bersama Raffi duduk di deretan kursi tunggu saling berpegangan tangan.
"Jangan nangis dong sayang." Raffi mengusap embun di sudut mataku.
"Kamu janji ya, jaga diri, kesehatan, nggak lupa shalat dan,"
"Nggak selingkuh." Raffi menyambar kalimatku yang belum sempurna. Wajahnya jenaka seakan memberi ketenangan. "Janji." Jarinya membentuk angka dua.
Kemudian dibawanya kepalaku ke dalam dadanya yang bidang. Semerbak harum Eternity Summer menyeruak dari balik tubuh Raffi.
"Deuh yang mau pisah pelukannya erat banget sih." Suara Tante Mila.
Reflek kami saling melepas pelukan.
"Mama."
Aku mencium tangan Tanye Mila yang sedang menggendong Wisnu, cucu pertamanya.
"Cuma dua tahun kok nak Prita. Sabar ya."
"Iya tante."
Diam.
"Oh, ini tokh perempuan yang bikin adikku nggak bisa tidur." Tiba-tiba suara lelaki terdengar dari sisi yang berlainan. Kami semua menengok ke arah suara.
"Mas," Raffi mencium tangan lelaki yang bediri di depannya.
Aku tergugu, mulutku terbuka namun tak ada kata terucap. Akalku masih merangkak untuk mempercayai bahwa lelaki yang kini berada tiga langkah di depanku adalah, Radya.

Oleh : Jennifer Anggraini Ria
19.11.15 jam 22.23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar